link post cerita: http://www.kaskus.co.id/show_post/535f9f54becb1739668b45ce/7/-
Pulau Chem. Sebuah pulau dimana seorang algojo akan menjadi dewa setelah eksekusinya yang ke-100. Ia harus mengikuti kehendak dewa melalui kepala pendeta dalam mengekseskusi orang-orang di dalam upacara suci.
Darah..
Air suci kehidupan manusia..
Aku merasa tentram setiap kali bermandikan darah. Tiada lagi rasa takut untuk melakukannya. Ya karena itu adalah pekerjaanku. Pekerjaan yang suci untuk upacara adat di Pulau Cheam. Sudah menjadi keseharianku memberikan hukuman kepada ‘pendosa’ di atas batu altar dengan posisi sang pendosa tercekik oleh Neckogal (tali yang sudah disucikan di kuil) dan dalam keaadaan tidak dapat bergerak akibat efek dari racun yang telah diminumkan kepadanya.
“Jadi apa kesalahanmu.?.”
“eekk..ee..Bastros ini aku! Ekkk.. Ka..wanmu!”
Seorang lelaki yang berambut cokelat terisak-isak panik menghadapi eksekusi suci Dewa Kashis (dewa masyarakat Cheam). Orang tersebut adalah orang yang sepertinya kukenal sejak kecil. Aku tak mau menyebutnya sahabat, kawan, ataupun teman. Aku mulai mengambil pedang lalu menhunuskannya ke arah dada sebelah kiri.
“Hei sampah! Apa kesalahanmu ?!”
“eekk..ee Bastros kau tak mungkin membunuhku kan?!. Kita sudah bersahabat sejak kecil!”
Membunuh?. Hh menggelikan.Yang kulakukan saat ini adalah kehendak Dewa Kashis untuk menghukum pendosa semacam dirinya.
Kutebas tangan kirinya hingga putus. Darah bertebaran di sekeliling altar dan juga diriku.
“AAAAAAAKK!!”
Aku dapat merasakan hangatnya darah sang ‘pendosa’. Apakah ini sebagian kesucian yang kau berikan kepadaku Dewa Kashis?. Suara jeritan menambah tentram hatiku. Ya, tentram dalam kesucian.
“Jadi apa kesalahanmu?”
“aaaa..tidak….”
Sebanyak 3 kali aku mengajukan pertanyaan yang sama dan setelahnya menebas tangan kanan, kaki kiri, dan kaki kanan hingga putus.
“aaaa..ak..u”
AAAAAAAAA!!!
Aku menusukkan pedang tepat ke jantungnya sebelum ia menyelesaikan kalimat terakhirnya karena Alufa (kepala pendeta kuil) telah memberikan isyarat untuk segera ‘menyucikannya’. Melihat ia telah mengakui dosa yang ia lakukan.
Segera Alufa mendekati mayat dan membasuh wajah sang ‘pendosa’ dengan air yang berasal dari mata air di dekat kuil.
“Dewa Kashis telah menghukummu..” ucap Alufa seraya menyiramkan air ke wajah pendosa.
Kusarungkan kembali pedangku dan aku duduk bersimpuh.
“Dewa Kashis memberkatimu”
Alufa menyiramkan air kepadaku dan membersihkan segala noda darah di seluruh tubuhku.
“PUJA DEWA KASHIS!”
Teriakan penduduk sekitar altar yang menyaksikan upacara pengeksekusian ‘pendosa’. Aku seolah-olah menjadi seorang dewa yang menyenangkan para pemujanya. Aku bangkit berdiri dan melihat wajah-wajah seluruh penduduk tampak bahagia atas upacara ini.
Tetapi tidak dengan seorang gadis cantik berambut cokelat bermata biru yang menggunakan Neckogal pada lehernya di sebelah kananku. Ia tampak menahan kesedihan atas upacara ini. Seakan-akan aku dapat merasakan kesedihannya.
“Ada apa wahai Bastros ?” Tanya Alufa
“____tak apa Alufa yang terhormat”
“Pastikan dirimu tetap suci setelah upacara ini. Wahai Bastros, kau adalah satu-satunya orang yang dapat aku andalkan”
“Ya..aku tahu itu Alufa yang terhormat”
Bagiku suci adalah kebahagiaan setelah menjalani tugas dewa tanpa merasakan perasaan keduniawian. Setelah melihat wajah sedih gadis itu entah mengapa aku merasakan iba. Aku harus melawan perasaan ini untuk menjaga kesucianku.
Usai upacara, dalam perjalanan pulang tiba-tiba saja aku memikirkan gadis itu. Gadis tesebut menggunakan Neckogal pertanda ia adalah penjaga kuil. Untuk menjadi penjaga kuil ia haruslah seorang yang tidak memiliki keluarga satupun.
Dan…
Aku melihat gadis itu. Ya, sedang duduk meratap kesedihannya di pinggir sungai. Haruskah aku bertanya padanya atas rasa penasaranku?. Dan aku akhirnya menghampirinya
“Hei kau, gadis penjaga kuil..”
“eh…hhuh?!”
Wajar saja gadis itu gugup melihat seorang algojo setelah mengeksekusi. Ini adalah pertama kalinya aku menyapa seorang gadis sejak aku diangkat sebagai algojo di pulau Chem. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku menyapa seorang gadis.
“Tu..tuan Bastros..ada apa?”
“Tidak apa..mengapa kau bersedih? Tak sepantasnya penjaga kuil merasakan hal seperti itu”
“Eee..itu..maaf tuan”
Gadis itu menunduk seperti merasa bersalah. Caraku menanyainya mungkin terlalu kaku mana mungkin dia dapat mencurahkan segala kesedihannya kepadaku.Tunggu..dan kenapa pula aku harus peduli dengan masalahya?. Perasaan macam apa ini ?. Mirip seperti kebanggaan mengeksekusi para ‘pendosa’. Apakah ini bagian dari kesucian?. Entahlah..
“Baiklah, aku bicara padamu sebagai rakyat biasa di Pulau Chem. Tak perlu memberikan segala hormatmu kepadaku”
Gadis itu tersenyum.
“Maaf tuan.. Sejauh itukah tuan harus merendahkan diri untuk mengetahui kesedihanku”
Gadis itu tersenyum lagi.
“Ya, karena aku ingin tahu”
Gadis yang aneh. Mendadak saja perasaan hatinya berubah dan sempat saja ia tersenyum pada algojo sepertiku. Ya tersenyum dengan senyumnya yang indah.
“Aku bersedih karena ini adalah eksekusi tuan yang ke-99”
“Maksudmu ?”
“Tuan akan menjadi Dewa atau Iblis atau bahkan ‘pendosa’”
Senyum gadis itu menutup kalimatnya yang kucoba untuk kupahami. Ya, memang benar setiap algojo yang telah menyelesaikan eksekusinya yang ke-100 ia akan mendapatkan kekuatan dewa yang sangat besar hingga tubuh manusianya tak sanggup menahan kekuatan itu dan pada akhirnya terbunuh oleh kekuatan tersebut. Hanya jasadnya yang terbunuh bukan jiwanya. Karena kuyakin jiwa algojo menjadi bagian dari kekuatan Dewa Kashis. Tapi untuk apa gadis itu bersedih?
“Aku tetap tak mengerti…”
Gadis itu tersenyum..
“Temui aku pagi hari di tempat ini sebelum eksekusi ke-100 nanti Tuan”
Gadis ini sungguh membingungkanku. Ada satu hal penting yang lupa aku tanyakan padanya.
“Namamu ?”
“ Elena”
Perasaan bahagia itu semakin menjadi. Ya, aku yakin ini adalah bagian dari kesucian dari dewa. Hal tersebut membuatku mengubah pandanganku tentang rasa manusiawi yang jauh dari kesucian seperti yang diajarkan Alufa. Aku mulai meragukannya.
Keesokan harinya di kuil.
“Wahai Bastros, apa kau menemui Elena kemarin ?” tanya Alufa
“Ya..Alufa terhormat”
“Kuharap kau menjauhinya. Ia akan merusak kesucianmu untuk eksekusi esok”
“Tidak Alufa terhormat. Aku bahkan merasakan kesucian yang sama dengan upacara eksekusi sang ‘pendosa’ saat berbicara padanya.”
Alufa tampak terkejut dengan perkataanku. Sorot matanya tajam menusuk pandanganku. Aku sama sekali tidak heran dengan ekspresi yang ia tunjukkan.
“Wahai Bastros, kau tahu jika kesucian yang kau rasakan itu adalah subjektivitas dirimu sendiri”
“Ya..aku yakin kesucian yang kau maksud adalah objektivitas. Sudut pandang dari berbagai subjektivitas. Setelah eksekusi ke-100 aku akan menjadi dewa yang kubutuhkan hanyalah subjektivitas diriku sendiri”
“Wahai Bastros tampaknya kau mulai meragukanku. Kau tak akan pernah menjadi dewa bahkan setelah eksekusi ke-100 jika kau meragukanku”
“Kita lihat saja besok Alufa yang terhormat”
Aku merasakan diriku menjadi lebih kuat setelah eksekusi ke-99. Dan semenjak itu pula tumbuh perasaan benci kepada Alufa entah apa alasannya. Yang ada di pikiranku saat ini adalah esok aku akan menjadi dewa setara dengan Dewa Kashis dan dipuja penduduk sebagai dewa bukan sebagai algojo yang 99 kali telah kurasakan kebahagiaannya. Namun pikiran itu sesaat buyar.
“Wahai Bastros, kau tahu esok kau akan mengeksekusi gadis suci bukan ‘pendosa’?”
“…?!”
“Elena..ya gadis itu yang kau akan eksekusi esok jika kau masih ingin menjadi dewa”
Sontak perkataan Alufa membuatku terkejut. Aku lupa jika eksekusi ke-100 haruslah gadis suci yang harus dipersembahkan kepada dewa.
“Wahai Bastros, kau masihlah seorang budak dewa yang harus mengikuti perintahnya melalui perintahku. Harusnya tiada keraguan jika kau sangat menginginkan kesucian dan menjadi dewa. Aku yakin kau tak akan bisa melakukannya jika kau masih meragukanku”
Ya, kurasa aku harus mengikuti perkataannya untuk sekarang ini. Namun di sisi lain aku tak mau membunuh Elena.
“Alufa terhormat, ini terakhir kalinya aku akan menurutimu”
“Kau akan menjadi dewa jika kau menuruti kehendakku wahai Bastros”
Keesokan harinya pada hari upacara suci aku menemui Elena di tempat pertama kali kami bertemu. Dia menyapaku dengan senyumnya yang indah.
“Tuan Bastros!”
“Kenapa kau dapat tersenyum hari ini?”
“Tentu saja karena Tuan akan menjadi dewa. Bukankah begitu?”
“Kau akan mati di tanganku. Kau masih bisa tersenyum?”
“Hihihi..aku tidak peduli dengan itu Tuan. Sempat berbicara denganmu sebelum upacara adalah hal yang menyenangkan selama aku hidup”
“Bodoh.. Apa yang menyenangkan dari percakapan kita selama ini?”
Elena tiba-tiba saja memelukku.
“Menyenangkan karena aku bisa berbicara denganmu lagi. Bahkan memelukmu.”
Elena mengatakannya disertai dengan tangis. Yang ia katakan sungguh tak aku mengerti dan rasa iba yang sangat kuat menyerang perasaanku.
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu Rein.. Alufa telah menghapus ingatanmu sejak kau menjadi algojo untuk menjaga kesucian Pulau Chem yang bodoh..”
Rein.. Aku teringat kembali nama itu. Ya nama panggilan kecilku. Semakin aku berusaha mengingatnya semakin sakit kepalaku. BODOH! Aku akan menjadi dewa dan segala memori itu tidaklah penting lagi.
“Hh..kau kira aku akan melepas begitu saja kesempatanku menjadi dewa untuk memori tak berguna..”
Aku melepas pelukannya dengan sedikit tenaga. Sedikit tenagaku terlalu kasar untuknya rupanya.
“Maaf Ele..”
Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Elena tersenyum padaku.
“Tak apa kau memang pantas menjadi dewa”
Gadis yang aneh. Ekspresi itu bukanlah yang aku perkirakan. Ya gadis aneh yang pernah kucintai di dalam memoriku yang telah dihapus . Tidak memori itu sepertinya kembali.
“Elena..terima kasih”
Elena hanya tersenyum kepadaku dan berbalik meninggalkanku. Mungkin itu senyuman terakhir yang bisa ia berikan sebelum upacara dimulai.
Matahari sore menunjukan waktu upacara suci penobatan diriku menjadi dewa. Batu Altar telah disiapkan, penduduk Pulau Chem berkumpul disekitar 30 meter dari altar, Alufa dan para pendeta lainnya bersiap di depan altar batu bersiap mengucapkan mantra kepada ‘persembahan dewa’. Seorang gadis cantik berambut cokelat bermata biru dalam keadaan tercekik Neckogal tampak lemas tertidur dalam keadaan setengah sadar di atas altar batu. Aku bersiap di belakang Alufa dengan pedang hitam yang ada di pinggangku.
“Wahai penjaga kuil yang suci. Apa kau bersedia menjadi ‘persembahan dewa’?”
“Ber..se.ekkk..dia”
“Elena spas las da fafa rat zaxa ye……”
Mantra telah diucapkan. Sinar pentagram muncul di batu altar sekitar tubuh Elena. Pedang hitamku ikut bersinar. Kekuatan yang sangat besar merasuk ke tubuhku. Ada rasa sakit,perih,dan panas pada tubuhku. Segala rasa yang menyakitkan itu membuat tubuhku serasa akan meledak. Aku tak kuat menahannya dan tiba-tiba saja kesadaranku menghilang. Semuanya tampak gelap.
Apa aku pingsan?
Apa aku mati?
Apa aku menjadi dewa?
Tiba-tiba saja aku berada di sebuah tempat dengan berlatar putih.
Muncullah seorang pria berambut biru bermata hitam berbaju putih.
“Hahaha..jadi kau yang akan menjadi dewa?”
“Siapa kau? Dewa?”
“JAWAB PERTANYAANKU SEBELUM BERTANYA!”
Petir mengiringi amarahnya. Rasa takut mulai merasukiku. Aku sangat yakin dia adalah dewa. Dewa Kashis.
“Ya, aku ingin menjadi dewa”
“Hoo..benar-benar ingin?”
“Ya..”
“Baiklah aku akan menjawab pertanyaanmu. Dugaanmu benar aku adalah Dewa Kashis, aku adalah majikan dan kau adalah budakku.”
“Tidak, setelah aku menjadi dewa”
“Hoo..kau bisa saja benar. Tapi kenyataannya adalah salah”
“Tekadku sangat kuat tak ada alasan untuk salah”
“Kuat? Huh..yang benar saja. Bagaimana dengan Elena?”
“Elena? Apa yang dewa maksud”
“Hahaha..kau menggunakan kata dewa ketika aku menyebut nama Elena
yang benar saja dewa seperti itu. Baiklah akan kuberikan kau dua pilihan menjadi dewa disini atau memiliki kekuatan dewa di pulau Chem selamatkan Elena dan bunuh Alufa beserta para pendeta bodoh itu?”
Apa ini? Sebuah pilihan dari Dewa Kashis. Tentu saja aku memilih pilihan kedua. Tapi mengapa ia mengatakan Alufa bodoh?
“Aku memilih..”
“Tak perlu kau lanjutkan. Kata-katamu sangat jelaas..hahaha”
“Wahai Dewa..lalu kenapa kau mengatakan Alufa bodoh?”
“Kau akan mengetahuinya setelah membunuhnya hahaha..”
“….?”
“Silahkan kembali ke bumi..nikmati kekuatan menjadi dewa”
Kesadaranku kembali. Tampaknya pertemuanku dengan dewa tidak mempengaruhi dimensi waktu disini. Semua bertepatan dengan selesainya Alufa mengucapkan mantra.
“Wahai Bastros apa kau sudah siap?” Tanya Alufa
“Ya tentu saja. Aku siap. Siap MENEBASMU!!”
Kutebas kepala Alufa hingga putus. Darah bercucuran deras. Wajah Alufa menunjukan ekspresi ketakutan dengan mata terbelalak. Riuh suara penduduk dan pendeta. Beberapa pendeta mencoba menyerangku tapi segalanya sia-sia dan berakhir dengan terpenggalnya kepala mereka oleh pedangku. Aku mulai larut dengan segala kesucian ini. Darah..darah..darah!. Ini adalah kesucian yang sangat suci. Tanpa kusadari aku telah membunuh seluruh manusia di Pulau Chem kecuali si gadis berambut cokelat bermata biru. Ya Elena.
Inikah yang kau inginkan Dewa Kashis..tidak Kashis?
Mensucikan pulau, tidak dunia ini dari kesucian palsu yang disebarkan oleh Alufa pengikutmu sendiri yang mengkhianatimu. Aku menjadi dewa dan Elena menjadi dewi membantumu mensucikan dunia ini dari kesucian palsu.
Tak lama kemudian Elena terbangun di atas pangkuanku.
"Elena..kau sudah sadar?"
"Rein..aku mencintaimu.."
"Aku juga Elena.."
Elena mencoba menciumku dan aku menyambutnya dengan ciuman.
Ini adalah ciuman suci untuk kesucian dan ketentraman dunia.
END
No comments:
Post a Comment